theaftadvocates

Senin, 12 Januari 2009

Artikel

HUKUMAN MATI DAN KEMATIAN SOSIAL

Oleh. Thalis Noor Cahyadi

Akhir-akhir ini, persoalan hukuman mati kembali ramai di perbincangkan diberbagai kalangan, menyusul akan di eksekusi mati-nya trio bomber yakni Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra dalam kasus Terorisme Bom Bali I 6 tahun lalu.

Kontroversi hukum mati (death penalty) merupakan kontroversi yang telah berjalan bertahun-tahun. Bagi kalangan aktivis hak asasi manusia, hukuman mati merupakan sebuah pelanggaran akan hak hidup manusia yang tidak terbatas (an unlimited right) sebagaimana tertuang dalam Pasal 3, Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Di Indonesia sendiri, hak hidup secara tegas dilindungi oleh konstitusi yakni UUD 1945.

Dalam pasal 28 A hasil amandemen kedua dijelaskan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaam apapun.

Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukum mati.

Menurut para aktivis HAM, amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengakui hukuman mati diberlakukan di Indonesia karena kalau hukum mati diakui maka tidak sesuai dengan hak hidup yang diatur di dalam kedua pasal Undang-Undang Dasar 1945 di atas. Sebagaimana diketahui bahwa hingga hari ini hukuman mati masih berlaku di Indonesia. Hal ini secara formal diatur dalam KUHP Pasal 10. Ancaman hukuman mati dalam KUHP ditujukan terhadap tindak pidana yang sangat berbahaya, yaitu dalam pasal 104, 110 ayat (1), ayat (2), 111 ayat (2), 112, 113, 123, 124 (1), 124 bis, 125, 127, 129, 140 ayat (3), 185, 340, 444, 479 ayat (2), dan pasal 479 ayat (2). Selain itu ancaman hukuman mati masih diberlakukan dalam berbagai undang-undang tentang tindak pidana khusus, khususnya untuk tindak pidana yang dianggap sangat berbahaya, seperti tindak pidana terorisme, narkoba, dan sebagainya.

Tujuan Pemidanaan

Dalam teori hukum pidana, tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan atau prevensi umum (generale preventie) maupun prevensi khusus (speciale preventie). Dalam sejarah literature hukum pidana, tujuan hukum pidana dan pemidanaan selalu menjadi hal terpenting dalam pembahasan hukum pidana, karena memang hukum pidana adalah hukum sanksi. Menurut para ahli penology, sanksi pidana merupakan sanksi yang istimewa, karena kepentingan hukum yang akan dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana (schutznorm) adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan, dan harta benda manusia, di samping kepentingan-kepentingan Negara.

Dalam berbagai mazhab kriminologi, pemidanaan tidak hanya ditinjau dari bidang hukum pidana saja, tetapi telah menjadi kajian yang lebih mendalam oleh ilmu social lain, seperti sosiologi dan psikologi, karena dampak pemidanaan terhadap terpidana, dan masyarakat dilingkungan terpidana.

Kematian Sosial

Factor terpenting dari hukuman mati (death penalty) adalah faktor kematian itu sendiri. Dari aspek medis, kematian diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari kacamata sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secar fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian social. Hal tersbeut terjadi manakala sesorang berada dalam kondisi social sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Dalam pengamatan Satjipto Rahardjo kematian social bisa menjadi suatu alternative penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan atau parole, secara fisik ia hidup tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi penderitaan social. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari keluarga dekatnya selama ini.

Menurut Satjipto, dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata” (burgerlijke dood). Konon kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya.

Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki. Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, kendatipun nama baiknya dapat dipulihkan.

Inilah bagian dari persoalan serius dalam penerapan hukuman mati, selain kontroversi yang akan terus mewarnai terlebih bersinggungan dengan hak asasi manusia, penerapan aturan hukum dan perundang-undangan di Indonesia merupakan persoalan penting yang masih belum terselesaikan dengan baik. Aparat penegak hukum terutama hakim, dalam menjatuhkan putusannya haruslah mampu mempertimbangkan berbagai aspek yang ada, dengan kembali pada esensi dari tujuan pemidanaan dan memperhatikan kepentingan korban.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda